materi perkuliahan STAIBN tegal

Wednesday, January 11, 2012

SEJARAH PEMBUKUAN AL-QUR'AN


A. SEJARAH PEMBUKAAN MUSHAF AL QUR'AN
1. Sejarah Pembukuan Mushaf AI Qur'an pada Masa Rasulullah
Kita telah mengetahui Al-Qur'an itu diturunkan secara berangsur-angsur. Rasulullah menerima A1-Qur'an melalui malaikat Jibril kemudian beliau ,mem­bacakan serta. mendiktekannya kepada para sahabat yang mendengarkannya.
Pada priode pertama sejarah pembukuan Al-Qur'an dapat dikatakan bahwa setiap ayat yang diturunkan kepada Rasulullah selain beliau hafal sendiri juga dihafal dan dicatat oleh para sahabat. Dengan cara tersebut Al-Qur'an terpelihara di dalam dada dan ingatan Rasulullah SAW beserta para sahabatnya. Hal ini dijelaskan dalam Al-Qur'an surat Al-Qiyamah 17 :
Artinya :
Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai,) membacanya.
Ayat di atas memebrikan petunjuk kepada kita bahwa al-qur’an itu dijamin kemurniannya dan terpelihara serta terkumpul dengan baik sejak saat turunnya sampai sekarang ini. Pengumpulan ayat Al-Qur’an ini dibantu oleh para sahabat, setiap ayat turun langsung dicatat pada plepah kurma, kulit binatang, bahkan pada tulang-belulang hewan. Kelompok pencatat Al-Qur’an ini cukup banyak, sebagaimana diriwayatkan sebuah hadis yang berbunyi :
Artinya :
Ambillah (pelajarilah) Al-Qur’an itu dari tempat orang (sahabatku): Abdullah ibnu Mas’ud, Salim, Muadz ibnu Jabal dan Ubay bin Kaab. (H.R Bukhari).
Tugas mencatat wahyu itu telah selesai semuanya menjelang wafatnya Rasulullah SAW. Semua naskah yang berserakan itu telah terkumpul dan terpelihara dengan baik, akan tetapi belum disusun dalam satu mushaf.
2. Pembukuan Al-Qur’an masa Khulafaur Rasyidin
Pada waktu Abu Bakar diangkat menjadi khalifah beliau segera memerintahkan agar naskah yang tersimpan di rumah Rasulullah disalin dan disusun kembali. Pekerjaan ini dilakukan setelah terjadi perang Yamamah yang mengakibatkan meninggalnya 70 orang penghafal Al-Qur’an, dan setelah musailamah Al-Kazzab sebagai Nabi palsu dihancurkan. Gagasan mengumpulkan Al-Qur’an pada masa itu adalah dari sahabat Umar ibnu Khattab. Umar merasa khawatir akan hilangnya sebagian Al-Qur’an dari penghafalnya yang telah gugur dalam pertempuran.
Demikianlah khalifah Abu Bakar memerintahkan Zaid bin Tsabit, penulis suhuf-suhuf di zaman Rasulullah untuk mengumpulkan suhuf-suhuf Al-Qur'an baik yang terdapat pada pelepah kurma, tulang hewan maupun dari para penghafal Al-Qur'an yang masih hidup. Dengan demikian kaum muslimin pada saat itu sepakat meyakini, bahwa mushaf Abu Bakar adalah mushaf Al-Qur'an yang sahih yang diakui oleh semua sahabat tanpa ada yang membantah.
Pada masa Urnar bin Khattab tidak ada lagi kegiatan dalam rangka mengumpulkan A1-Qur'an oleh karena itu pada masa ini Khalifah Umar menitik beratkan kegiatannya pada penyiaran agama Islam.
Pada masa Khalifah Usman bin Affan wilayah kekuasaan Islam sudah semakin luas, oleh sebab itu semakin beraneka ragam pula bangsa-bangsa bukan Arab yang memeluk Agama Islam. Maka timbul lagi persoalan yang berhubungan dengan kitab suci Al-Qur'an Salah seorang sahabat yang bernama Hudzaifah ibnu Yaman yang baru pulang dari pertempuran. melaporkan kepada Khalifah Usman bahwa timbul perbedaan pendapat tentang qiraat (bacaan) Al-Qur'an di kalangan kaum muslimin, bahwa setiap kabilah mengaku bacaannya adalah Yang paling baik dibanding bacaan kabilah yang lain.
Hudzaifah mengusulkan kepada khalifah agar segera diambil kebijaksanaan untuk mengatasi perbedaan-perbedaan tersebut, sebelum terjadi pertengkaran tentang kitab suci Al Qur'an di antara mereka seperti yang terjadi pada orana Yahudi dan Nasrani tentang Taurat dan Injil. Usul itu segera diterima Khalifah Usman segera mengirim utusan untuk meminta mushaf kepada Hafsah yang disimpan di rumahnya untuk disalin (diperbanyak). Untuk memperbanyak mushaf ini kembli khalifah Usman menunjuk Zaid sebagai ketuanya dengan anggota-anggotanya Abdullah bin Zubair. Said ibnu Ash dan Abdurahman bin Harits.
Setelah selesai memperbanyak mushaf, maka Usman menyerahkan kembali mushaf yang asli kepada Hafsah. Kemudian lima mushaf lainnya dikirim kepada penguasa di Mekah, Kuffah, Basrah dan Suriah, dan salah satunya dipegang oleh Khalifah Usman bin Affan sendiri.
Demikianlah sejak saat itu mushaf Al Qur'an ter"ebut dinamai mushaf al Imam atau lebih dikenal dengan mushhaf Usmany, karena disalin pada masa khalifah Usman bin Affan.
Pembukuan Al-Qur’an Dengan tujuan sebagai berikut:

1. Menyatukan satu mushaf yang sama bacaan maupun ejaannya bagi seluruh    kaum muslimin diseluruh dunia.

2. Menjadikan mushaf Usman sebagai pedoman dalam bacaan dan ejaan.Sedangkan bacaan dan ejaan yang tidak sesuai dengan bacaan dan ejaan Usman tidak dibolehkan lagi.

3. Meyeragamkan tertib surat-suratnya,seperti yang telah diajarkan oleh Rasulullah SAW.

Ada beberapa nasehat Sayyidina Usman bin Affan yang disampaikan kepada panitia pembukuan Al Qur`an dalam melaksanakan tugasnya.
*Antara lain sebagai berikut:

a.Agar panitia mengambil pedoman  kepada siapa saja yang hafal Al Qur`an

b.Jika terdapat perselisihan tentang bacaan(dialek)maka harus ditulis menurut dialek suku Quraisy.Alasannya,sebab Al Qur`an diturunkannya menurut dialek suku(Quraisy)tersebut.




II. KEASLIAN QUR-AN                                    (2/2)

Suatu Surat  yang  diturunkan  sesudah  Hijrah,  menyebutkan
tentang   lembaran-lembaran   yang   di   dalamnya  tertulis
perintah-perintah suci.

Surat 98 ayat 2 dan 3:

"Seorang  Rasul  dari  Allah  (yaitu  Nabi  Mahammad)   yang
membacakan  lembaran-lembaran yang disucikan (Al Qur-an). Di
dalamnya terdapat (isi) kitab-kitab yang lurus."

Dengan  begitu  maka  Qur-an  sendiri  memberitahukan  bahwa
penulisan Quran telah dilakukan semenjak Nabi Muhammad masih
hidup. Kita mengetahui bahwa Nabi  Muhammad  mempunyai  juru
tulis-juru  tulis banyak, di antaranya yang termashur adalah
Zaid bin Tsabit.

Dalam  pengantar  dalam  Terjemahan  Qur-annya  (197)  Prof.
Hamidullah  melukiskan  kondisi  waktu  teks  Qur-an ditulis
sampai Nabi Muhammad wafat.

Sumber-sumber sepakat untuk mengatakan bahwa tiap kali suatu
fragmen  daripada  Qur-an diwahyukan, Nabi memanggil seorang
daripada  para  sahabat-sahabatnya   yang   terpelajar   dan
mendiktekan kepadanya, serta menunjukkan secara pasti tempat
fragmen   baru   tersebut    dalam    keseluruhan    Qur-an.
Riwayat-riwayat  menjelaskan  bahwa setelah mendiktekan ayat
tersebut, Muhammad minta kepada juru tulisnya untuk  membaca
apa yang sudah ditulisnya, yaitu untuk mengadakan pembetulan
jika  terjadi  kesalahan.   Suatu   riwayat   yang   masyhur
mengatakan  bahwa  tiap  tahun  pada  bulan  Ramadlan,  Nabi
Muhammad membaca ayat-ayat Qur-an yang sudah diterimanya  di
hadapan  Jibril.  Pada  bulan Ramadlan yang terakhir sebelum
Nabi Muhammad  meninggal,  malaikat  Jibril  mendengarkannya
membaca   (mengulangi   hafalan)   Qur-an   dua  kali.  Kita
mengetahui  bahwa  semenjak  zaman  Nabi   Muhammad,   kaum
muslimin  membiasakan diri untuk berjaga pada bulan Ramadlan
dan melakukan ibadat-ibadat tambahan dengan membaca  seluruh
Qur-an.  Beberapa  sumber  menambahkan  bahwa pada pembacaan
Qur-an yang terakhir di  hadapan  Jibril,  juru  tulis  Nabi
Muhammad   yang   bernama  Zaid  hadir.  Sumber-sumber  lain
mengatakan bahwa di samping Zaid  juga  ada  beberapa  orang
lain yang hadir.

Untuk  pencatatan  pertama,  orang  memakai  bermacam-macarn
bahan seperti kulit, kayu, tulang  unta,  batu  empuk  untuk
ditatah dan lain-lainnya.

Tetapi  pada  waktu  yang  sama Muhammad menganjurkan supaya
kaum muslimin menghafalkan Qur-an, yaitu bagian-bagian  yang
dibaca   dalam  sembahyang.  Dengan  begitu  maka  muncullah
sekelompok orang yang dinamakan hafidzun (penghafal  Qur-an)
yang   hafal   seluruh   Qur-an  dan  mengajarkannya  kepada
orang-orang lain. Metoda ganda untuk memelihara teks  Qur-an
yakni   dengan   mencatat   dan  menghafal  ternyata  sangat
berharga.

Tidak lama setelah  Nabi  Muhammad  wafat  (tahun  632  M.),
penggantinya  (sebagai  Kepala  Negara),  yaitu  Abu  Bakar,
Khalifah yang pertama, minta kepada juru  tulis  Nabi,  Zaid
bin   Tsabit   untuk  menulis  sebuah  Naskah;  hal  ini  ia
laksanakan.

Atas initiatif Umar (yang kemudian menjadi Khalifah  kedua),
Zaid  memeriksa dokumentasi yang ia dapat mengumpulkannya di
Madinah; kesaksian daripada penghafal  Qur-an,  copy  Qur-an
yang  dibikin  atas  bermacam-macam  bahan dan yang dimiliki
oleh pribadi-pribadi, semua itu untuk menghindari  kesalahan
transkripsi  (penyalinan  tulisan)  sedapat  mungkin. Dengan
cara ini, berhasillah  tertulis  suatu  naskah  Qur-an  yang
sangat dapat dipercayai.

Sumber-sumber  mengatakan  bahwa  kemudian  Umar bin Khathab
yang menggantikan Abu Bakar pada tahun 634 M, menyuruh bikin
satu  naskah  (mushaf) yang ia simpan, dan ia pesankan bahwa
setelah ia mati, naskah tersebut  diberikan  kepada  anaknya
perempuan, Hafsah janda Nabi Muhammad

Khalifah  ketiga,  Uthman bin Affan yang menjabat dari tahun
644  sampai  655,  membentuk  suatu  panitya  yang   terdiri
daripada   para   ahli  dan  memerintahkan  untuk  melakukan
pembukuan  besar  yang  kemudian   membawa   nama   Khalifah
tersebut.  Panitya  tersebut  memeriksa  dokumen yang dibuat
oleh  Abubakar  dan  yang  dibuat  oleh  Umar  dan  kemudian
disimpan   oleh   Hafsah,   panitya   berkonsultasi   dengan
orang-orang yang hafal Qur-an. Kritik  tentang  autentisitas
teks  dilakukan secara ketat sekali. Persetujuan saksi-saksi
diperlukan untuk menetapkan suatu ayat  kecil  yang  mungkin
mempunyai  arti  lebih  dari  satu;  kita  mengetahui  bahwa
beberapa ayat Qur-an dapat menerangkan ayat-ayat  yang  lain
dalam  soal ibadat. Hal ini adalah wajar jika kita mengingat
bahwa kerasulan Muhammad adalah sepanjang dua puluh tahun.7

Dengan cara tersebut di atas,  diperolehlah  suatu  teks  di
mana  urutan  Surat-surat mencerminkan urutan yang dilakukan
oleh Nabi Muhammad ketika membaca Qur-a:n di bulan  Ramadlan
di  muka  malaikat  Jibril seperti yang telah diterangkan di
atas.

Kita dapat bertanya-tanya tentang  motif  yang  mendorong  3
Khalifah  pertama, khususnya Uthman untuk mengadakan koleksi
dan  pembukuan  teks.  Motif  tersebut   adalah   sederhana;
tersiarnya Islam adalah sangat cepat pada beberapa dasawarsa
yang pertama  setelah  wafatnya  Nabi  Muhammad.  Tersiarnya
Islam  tersebut  terjadi  di  daerah-daerah yang penduduknya
tidak  berbahasa  Arab.  Oleh  karena   itu   perlu   adanya
tindakan-tindakan  pengamanan  untuk  memelihara  tersiarnya
teks Qur-an dalam kemurnian aslinya. Pembukuan Uthman adalah
untuk memenuhi hasrat ini.

Uthman   mengirimkan   naskah-naskah  teks  pembukuannya  ke
pusat-pusat Emperium Islam, dan oleh karena itu maka menurut
Professor Hamidullah , pada waktu ini terdapat naskah Qur-an
(mushaf) Uthman di Tasykent8 dan Istambul. Jika  kita  sadar
akan  kesalahan  penyalinan  tulisan  yang  mungkin terjadi,
manuskrip  yang  paling  kuno  yang  kita  miliki  dan  yang
ditemukan di negara-negara Islam adalah identik. Begitu juga
naskah-naskah yang ada di Eropa. (Di  Bibliotheque  National
di  Paris  terdapat  fragmen-fragmen yang menurut para ahli,
berasal dan abad VIII dan IX Masehi,  artinya  berasal  dari
abad II dan III Hijrah). Teks-teks kuno yang sudah ditemukan
semuanya sama, dengan catatan ada  perbedaan-perbedaan  yang
sangat  kecil  yang  tidak  merubah  arti teks, jika konteks
ayat-ayat memungkinkan cara membaca  yang  lebih  dari  satu
karena   tulisan   kuno  lebih  sederhana  daripada  tulisan
sekarang.

Surat-surat Qur-an yang berjumlah 114, diklasifikasi menurut
panjang  pendeknya, dengan beberapa kekecualian. Oleh karena
itu  urutan  waktu  (kronologi)  wahyu  tidak  dipersoalkan;
tetapi  orang  dapat  mengerti hal tersebut dalam kebanyakan
persoalan.  Banyak  riwayat-riwayat  yang  disebutkan  dalam
beberapa  tempat  dalam  teks,  dan  hal  ini  memberi kesan
seakan-akan  ada  ulangan.  Sering  sekali  suatu   paragraf
menambahkan  perincian  kepada  suatu riwayat yang dimuat di
lain tempat secara kurang terperinci. Dan semua yang mungkin
ada  hubungannya  dengan  Sains  modern,  seperti kebanyakan
hal-hal yang  dibicarakan  oleh  Qur-an,  dibagi-bagi  dalam
Qur-an dengan tidak ada suatu tanda adanya klasifikasi.



Turunnya wahyu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkaitan dengan perintah membaca dan belajar sebagaimana firman Allah Ta’ala, “Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang telah menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmu-lah Yang Maha Pemurah. Yang mengajar manusia dengan perantaraan kalian. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS. Al-‘Alaq: 1-5)
Sebelum datangnya agama Islam, bangsa Arab tidaklah dikenal dengan kemampuan membaca dan menulis, sehingga mereka lebih dikenal sebagai bangsa yang ummi (tidak bisa membaca dan menulis). Namun demikian, tidak berarti bahwa diantara mereka tidak ada seorang pun yang bisa menulis dan membaca. Keadaan ini hanyalah sebagai ciri kebanyakan dari mereka. Sejarah telah mencatat bahwa sejumlah orang diantara mereka ada yang mampu membaca dan menulis, Adiy bin Zaid Al-Abbady (wafat 35 sebelum Hijriah) misalnya, sudah belajar menulis hingga menguasainya, dan merupakan orang pertama yang menulis dengan bahasa Arab dalam surat yang ditujukan kepada Kisra.
Kemudian pada masa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tulis-menulis sudah tersebar luas, dimana Al-Qur’an sendiri menganjurkan untuk belajar dan membaca, dan Rasulullah sendiri mengangkat para penulis wahyu jumlahnya mencapai 40 orang. Nama-nama mereka disebut dalam kitab “At-Taratib Al-Idariyah”. Bahkan Baladzuri dalam kitab “Futuhul Buldan” menyebutkan adanya sejumlah penulis wanita, diantara mereka: ummul mukminin Hafshah, Ummu Kultsum binti Uqbah, Asy-Syifa’ binti Abdullah Al-Qurasyiyah, Aisyah binti Sa’ad, Karimah binti Al-Miqdad.
Para penulis semakin banyak di Madinah setelah hijrah, setelah perang Badar. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyuruh Abdullah bin Sa’id bin Ash agar mengajar menulis di Madinah. Ibnu Hajar menyebutkan bahwa nama asli Abdullah bin Said bin Al-Ash adalah Al-Hakam, lalu Rasulullah memberinya nama dengan Abdullah, lalu menyuruhnya agar mengajar menulis di Madinah.
Ada beberapa nash yang bertentangan dalam hal penulisan hadits. Sebagian menunjukkan adanya larangan penulisan, dan sebagian lain membolehkan adanya penulisan hadits.
a. Riwayat yang melarang penulisan hadits
- Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam datang kepada kami dan sedangkan kami menulis hadits. Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Apa yang sedang kalian tulis?’ Kami menjawab, ‘hadits-hadits yang kami dengar dari engkau.’ Beliau berkata, ‘Apakah kalian menghendaki kitab selain Kitabullah? Tidaklah sesat umat sebelum kalian melainkan karena mereka menulis dari kitab-kitab selain Kitabullah.’” (Diriwayatkan dari Al-Khatib Al-Baghdadi dalam Taqyidul Ilmi) 
b. Riwayat yang membolehkan penulisan hadits
- Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, “Tiada seorang pun dari sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang lebih banyak haditnya dariku kecuali Abdullah bin Amru Al-Ash karena dia menulis sedangkan aku tidak menulis.” (HR. Bukhari)
- Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Ikatlah ilmu dengan buku.’” (Diriwayatkan Al-Khatib dalam Taqyidul Ilmi)
Atas dasar perbedaan nash inilah para ulama berselisih pendapat dalam penulisan hadits. Ibnu Shalah berkata, “Para ulama berselisih pendapat dalam penulisan hadits, sebagian diantara mereka melarang penulisan hadits dan ilmu, serta menyuruh untuk menghafalnya. Sedangkan sebagian yang lain membolehkannya.”
Mereka yang melarang penulisan hadits adalah Umar, Ibnu Mas’ud, Zaid bin Tsabit, Abu Musa, Abu Sa’id Al-Khudri, dan sekelompok lainnya dari kalangan sahabat dan tabi’in.
Sedangkan yang membolehkan penulisan hadits adalah Ali, Hasan bin Ali, Anas, Abdullah bin Amru Al-Ash.
Para ulama telah memadukan dua pendapat yang berselisih antara mereka yang melarang dan membolehkan penulisan hadits sebagai berikut:
1. Larangan penulisan terjadi pada awal masa perkembangan Islam sehingga dikhawatirkan akan terjadi percampuran dan penggabungan antara hadits dan Al-Qur’an. Ketika keadaan telah aman dan kondusif, serta jumlah penghafal Al-Qur’an telah banyak, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengizinkan untuk menulis hadits, dan larangan sebelumnya mnejadi mansukh (terhapus).
2. Larangan hanya khusus pada penulisan hadits bersamaan dengan Al-Qur’an dalam satu lembar atau shahifah, karena khawatir terjadi kemiripan atau kesamaan.
3. Larangan hanya bagi orang yang diyakini mampu menghafalnya karena dikhawatirkan akan bergantung pada tulisan, sedangkan diperbolehkan penulisan hanya bagi orang yang diyakini tidak mampu dalam menghafalnya.
Dan tidak diragukan lagi bahwa adanya perbedaan ini hanyalah terjadi pada masa awal saja, kemudian ijma’ kamu muslimin sepakat membolehkan penulisan tersebut. Ibnu Ash-Shalah berkata, “Lalu hilanglah perbedaan, dan kaum muslimin sepakat untuk membolehkannya. Kalaulah tidak dibukukan dalam bentuk tulisan, tentu hadits itu akan lenyap pada masa-masa berikutnya.”
Pembukuan Hadits
Pembukuan berbeda dengan penulisan. Seseorang yang menulis sebuah shahifah (lembaran) atau lebih disebut dengan penulisan. Sedangkan pembukuan adalah mengumpulkan lembaran-lembaran yang sudah tertulis dan yang dihafal, lalu menyusunnya sehingga menjadi sebuah buku.
Upaya untuk mengumpulkan dan membukukan hadits telah dilakukan pertama kali oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Hal-hal yang mendorong untuk melakukan pengumpulan dan pembukuan adalah:
- Tidak adanya larangan pembukuan, sedangkan Al-Qur’an telah dihafal oleh ribuan orang, dan telah dikumpulkan serta dibukukan pada masa Khalifah Utsman bin Affan. Dengan demikian dapat dibedakan dengan jelas antara Al-Qur’an dengan hadits.
- Kekhawatiran akan hilangnya hadits karena ingatan kuat yang menjadi kelebihan orang Arab semakin melemah, sedangkan para ulama telah menyebar dibeberapa penjuru negeri Islam setelah terjadi perluasan kekuasaan negeri Islam.
- Munculnya pemalsuan hadits akibat perselisihan politik dan madzhab setelah terjadinya fitnah, dan terpecahnya kaum muslimin menjadi pengikut Ali dan pengikut Mu’awiyah, serta Khawarij yang keluar dari keduanya. Masing-masing golongan berusaha memperkuat madzhab-nya dengan cara menafsirkan Al-Qur’an dengan makna yang bukan sebenarnya.
Akan tetapi, upaya pengumpulan ini belum menyeluruh dan sempurna karena Umar bin Abdul Aziz wafat sebelum Abu Bakar bin Hazm mengirimkan hasil pembukuan hadits kepadanya. Para ahli hadits memandang bahwa upaya Umar bin Abdul Aziz merupakan langkah awal dari pembukuan hadits. Mereka mengatakan, “Pembukuan hadits ini terjadi pada penghujung tahun ke 100 pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz atas perintahnya.”
Adapun upaya pembukuan yang sebenarnya dan menyeluruh dilakukan oleh Imam Muhammad bin Syihab Az-Zuhri yang menyambut seruan Umar bin Abdul Aziz dengan tulus yang didasari karena kecintaan pada hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan keinginannya untuk melakukan pengumpulan.
Pembukuan hadits pada mulanya belum disusun secara sistematis dan tidak berdasarkan pada urutaan bab-bab pembahasan ilmu. Upaya pembukuan ini kemudian banyak dilakukan oleh ulama-ulama setelah Az-Zuhri dengan metode yang berbeda-beda. Kemudian para ulama hadits menyusunnya secara sistematis dengan menggunakan metode berdasarkan sanad dan berdasarkan bab.
Ibnu Hajar berkata, “Orang yang pertama melakukan demikian itu adalah Ar-Rabi’ bin Shubaih (wafat 16 H) dan Said bin Abi Arubah (wafat 156 H) hingga kepada para ulama thabaqah (lapisan) ketiga (dari kalangan tabi’in). Imam Malik menyusun Al-Muwatha’ di Madinah, Abdullah bin Juraij di Makkah, Al-Auza’I di Syam, Sufyan At-Tsauri di Kufah, Hamad bin Salamah bin Dinar di Basrah.”
Buku-buku yang ditulis pada masa itu dan kini sudah dicetak antara lain:
a. Al-Muwatha’ karya Imam Malik bin Anas
b. Al-Mushannaf karya Abdurrazaq bin Hammam Ash-Shan’ani
c. As-Sunan karya Said bin Mansur
d. Al-Mushannaf karya Abu Bakar bin Abu Syaibah
Karya-karya tersebut tidak hanya terbatas pada kumpulan hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, akan tetapi bercampur antara hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, perkataan para sahabat, dan fatwa para tabi’in. Kemudian ulama pada periode berikutnya memisahkan pembukuan hanya pada hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam saja