A. SEJARAH PEMBUKAAN MUSHAF AL QUR'AN
1. Sejarah Pembukuan Mushaf AI Qur'an
pada Masa Rasulullah
Kita telah mengetahui Al-Qur'an itu diturunkan
secara berangsur-angsur. Rasulullah menerima A1-Qur'an melalui malaikat Jibril
kemudian beliau ,membacakan serta. mendiktekannya kepada para sahabat yang
mendengarkannya.
Pada priode pertama sejarah pembukuan
Al-Qur'an dapat dikatakan bahwa setiap ayat yang diturunkan kepada Rasulullah
selain beliau hafal sendiri juga dihafal dan dicatat oleh para sahabat. Dengan
cara tersebut Al-Qur'an terpelihara di dalam dada dan ingatan Rasulullah SAW
beserta para sahabatnya. Hal ini dijelaskan dalam Al-Qur'an surat Al-Qiyamah 17
:
Artinya :
Sesungguhnya atas
tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai,)
membacanya.
Ayat di atas memebrikan petunjuk kepada
kita bahwa al-qur’an itu dijamin kemurniannya dan terpelihara serta terkumpul
dengan baik sejak saat turunnya sampai sekarang ini. Pengumpulan ayat Al-Qur’an
ini dibantu oleh para sahabat, setiap ayat turun langsung dicatat pada plepah
kurma, kulit binatang, bahkan pada tulang-belulang hewan. Kelompok pencatat
Al-Qur’an ini cukup banyak, sebagaimana diriwayatkan sebuah hadis yang berbunyi
:
Artinya :
Ambillah (pelajarilah) Al-Qur’an itu
dari tempat orang (sahabatku): Abdullah ibnu Mas’ud, Salim, Muadz ibnu Jabal
dan Ubay bin Kaab. (H.R Bukhari).
Tugas mencatat wahyu itu telah selesai
semuanya menjelang wafatnya Rasulullah SAW. Semua naskah yang berserakan itu
telah terkumpul dan terpelihara dengan baik, akan tetapi belum disusun dalam
satu mushaf.
2. Pembukuan Al-Qur’an masa Khulafaur
Rasyidin
Pada waktu Abu Bakar diangkat menjadi
khalifah beliau segera memerintahkan agar naskah yang tersimpan di rumah
Rasulullah disalin dan disusun kembali. Pekerjaan ini dilakukan setelah terjadi
perang Yamamah yang mengakibatkan meninggalnya 70 orang penghafal Al-Qur’an,
dan setelah musailamah Al-Kazzab sebagai Nabi palsu dihancurkan. Gagasan
mengumpulkan Al-Qur’an pada masa itu adalah dari sahabat Umar ibnu Khattab.
Umar merasa khawatir akan hilangnya sebagian Al-Qur’an dari penghafalnya yang
telah gugur dalam pertempuran.
Demikianlah khalifah Abu Bakar
memerintahkan Zaid bin Tsabit, penulis suhuf-suhuf di zaman Rasulullah untuk
mengumpulkan suhuf-suhuf Al-Qur'an baik yang terdapat pada pelepah kurma,
tulang hewan maupun dari para penghafal Al-Qur'an yang masih hidup. Dengan
demikian kaum muslimin pada saat itu sepakat meyakini, bahwa mushaf Abu Bakar
adalah mushaf Al-Qur'an yang sahih yang diakui oleh semua sahabat tanpa ada
yang membantah.
Pada masa Urnar bin Khattab tidak ada
lagi kegiatan dalam rangka mengumpulkan A1-Qur'an oleh karena itu pada masa ini
Khalifah Umar menitik beratkan kegiatannya pada penyiaran agama Islam.
Pada masa Khalifah Usman bin Affan
wilayah kekuasaan Islam sudah semakin luas, oleh sebab itu semakin beraneka
ragam pula bangsa-bangsa bukan Arab yang memeluk Agama Islam. Maka timbul lagi
persoalan yang berhubungan dengan kitab suci Al-Qur'an Salah seorang sahabat
yang bernama Hudzaifah ibnu Yaman yang baru pulang dari pertempuran. melaporkan
kepada Khalifah Usman bahwa timbul perbedaan pendapat tentang qiraat (bacaan)
Al-Qur'an di kalangan kaum muslimin, bahwa setiap kabilah mengaku bacaannya
adalah Yang paling baik dibanding bacaan kabilah yang lain.
Hudzaifah mengusulkan kepada khalifah
agar segera diambil kebijaksanaan untuk mengatasi perbedaan-perbedaan tersebut,
sebelum terjadi pertengkaran tentang kitab suci Al Qur'an di antara mereka
seperti yang terjadi pada orana Yahudi dan Nasrani tentang Taurat dan Injil.
Usul itu segera diterima Khalifah Usman segera mengirim utusan untuk meminta
mushaf kepada Hafsah yang disimpan di rumahnya untuk disalin (diperbanyak).
Untuk memperbanyak mushaf ini kembli khalifah Usman menunjuk Zaid sebagai
ketuanya dengan anggota-anggotanya Abdullah bin Zubair. Said ibnu Ash dan
Abdurahman bin Harits.
Setelah selesai memperbanyak mushaf,
maka Usman menyerahkan kembali mushaf yang asli kepada Hafsah. Kemudian lima
mushaf lainnya dikirim kepada penguasa di Mekah, Kuffah, Basrah dan Suriah, dan
salah satunya dipegang oleh Khalifah Usman bin Affan sendiri.
Demikianlah sejak saat itu mushaf Al
Qur'an ter"ebut dinamai mushaf al Imam atau lebih dikenal dengan mushhaf
Usmany, karena disalin pada masa khalifah Usman bin Affan.
Pembukuan Al-Qur’an Dengan
tujuan sebagai berikut:
1. Menyatukan satu mushaf yang sama bacaan maupun ejaannya bagi seluruh kaum muslimin diseluruh dunia.
2. Menjadikan mushaf Usman sebagai pedoman dalam bacaan dan ejaan.Sedangkan bacaan dan ejaan yang tidak sesuai dengan bacaan dan ejaan Usman tidak dibolehkan lagi.
3. Meyeragamkan tertib surat-suratnya,seperti yang telah diajarkan oleh Rasulullah SAW.
Ada beberapa nasehat Sayyidina Usman bin Affan yang disampaikan kepada panitia pembukuan Al Qur`an dalam melaksanakan tugasnya.
*Antara lain sebagai berikut:
a.Agar panitia mengambil pedoman kepada siapa saja yang hafal Al Qur`an
b.Jika terdapat perselisihan tentang bacaan(dialek)maka harus ditulis menurut dialek suku Quraisy.Alasannya,sebab Al Qur`an diturunkannya menurut dialek suku(Quraisy)tersebut.
1. Menyatukan satu mushaf yang sama bacaan maupun ejaannya bagi seluruh kaum muslimin diseluruh dunia.
2. Menjadikan mushaf Usman sebagai pedoman dalam bacaan dan ejaan.Sedangkan bacaan dan ejaan yang tidak sesuai dengan bacaan dan ejaan Usman tidak dibolehkan lagi.
3. Meyeragamkan tertib surat-suratnya,seperti yang telah diajarkan oleh Rasulullah SAW.
Ada beberapa nasehat Sayyidina Usman bin Affan yang disampaikan kepada panitia pembukuan Al Qur`an dalam melaksanakan tugasnya.
*Antara lain sebagai berikut:
a.Agar panitia mengambil pedoman kepada siapa saja yang hafal Al Qur`an
b.Jika terdapat perselisihan tentang bacaan(dialek)maka harus ditulis menurut dialek suku Quraisy.Alasannya,sebab Al Qur`an diturunkannya menurut dialek suku(Quraisy)tersebut.
II.
KEASLIAN QUR-AN (2/2)
Suatu
Surat yang diturunkan
sesudah Hijrah, menyebutkan
tentang lembaran-lembaran yang
di dalamnya tertulis
perintah-perintah
suci.
Surat
98 ayat 2 dan 3:
"Seorang Rasul
dari Allah (yaitu
Nabi Mahammad) yang
membacakan lembaran-lembaran yang disucikan (Al Qur-an).
Di
dalamnya
terdapat (isi) kitab-kitab yang lurus."
Dengan begitu
maka Qur-an sendiri
memberitahukan bahwa
penulisan
Quran telah dilakukan semenjak Nabi Muhammad masih
hidup.
Kita mengetahui bahwa Nabi Muhammad mempunyai
juru
tulis-juru tulis banyak, di antaranya yang termashur
adalah
Zaid
bin Tsabit.
Dalam pengantar
dalam Terjemahan Qur-annya
(197) Prof.
Hamidullah melukiskan
kondisi waktu teks
Qur-an ditulis
sampai
Nabi Muhammad wafat.
Sumber-sumber
sepakat untuk mengatakan bahwa tiap kali suatu
fragmen daripada
Qur-an diwahyukan, Nabi memanggil seorang
daripada para
sahabat-sahabatnya yang terpelajar
dan
mendiktekan
kepadanya, serta menunjukkan secara pasti tempat
fragmen baru
tersebut dalam keseluruhan Qur-an.
Riwayat-riwayat menjelaskan
bahwa setelah mendiktekan ayat
tersebut,
Muhammad minta kepada juru tulisnya untuk
membaca
apa
yang sudah ditulisnya, yaitu untuk mengadakan pembetulan
jika terjadi
kesalahan. Suatu riwayat
yang masyhur
mengatakan bahwa
tiap tahun pada
bulan Ramadlan, Nabi
Muhammad
membaca ayat-ayat Qur-an yang sudah diterimanya
di
hadapan Jibril.
Pada bulan Ramadlan yang terakhir
sebelum
Nabi
Muhammad meninggal, malaikat
Jibril mendengarkannya
membaca (mengulangi
hafalan) Qur-an dua
kali. Kita
mengetahui bahwa
semenjak zaman Nabi
Muhammad, kaum
muslimin membiasakan diri untuk berjaga pada bulan
Ramadlan
dan
melakukan ibadat-ibadat tambahan dengan membaca
seluruh
Qur-an. Beberapa
sumber menambahkan bahwa pada pembacaan
Qur-an
yang terakhir di hadapan Jibril,
juru tulis Nabi
Muhammad yang
bernama Zaid hadir.
Sumber-sumber lain
mengatakan
bahwa di samping Zaid juga ada
beberapa orang
lain
yang hadir.
Untuk pencatatan
pertama, orang memakai
bermacam-macarn
bahan
seperti kulit, kayu, tulang unta, batu
empuk untuk
ditatah
dan lain-lainnya.
Tetapi pada waktu
yang sama Muhammad menganjurkan
supaya
kaum
muslimin menghafalkan Qur-an, yaitu bagian-bagian yang
dibaca dalam
sembahyang. Dengan begitu
maka muncullah
sekelompok
orang yang dinamakan hafidzun (penghafal
Qur-an)
yang hafal
seluruh Qur-an dan
mengajarkannya kepada
orang-orang
lain. Metoda ganda untuk memelihara teks
Qur-an
yakni dengan
mencatat dan menghafal
ternyata sangat
berharga.
Tidak
lama setelah Nabi Muhammad
wafat (tahun 632
M.),
penggantinya (sebagai
Kepala Negara), yaitu
Abu Bakar,
Khalifah
yang pertama, minta kepada juru
tulis Nabi, Zaid
bin Tsabit
untuk menulis sebuah
Naskah; hal ini ia
laksanakan.
Atas
initiatif Umar (yang kemudian menjadi Khalifah
kedua),
Zaid memeriksa dokumentasi yang ia dapat
mengumpulkannya di
Madinah;
kesaksian daripada penghafal
Qur-an, copy Qur-an
yang dibikin
atas bermacam-macam bahan dan yang dimiliki
oleh
pribadi-pribadi, semua itu untuk menghindari
kesalahan
transkripsi (penyalinan
tulisan) sedapat mungkin. Dengan
cara
ini, berhasillah tertulis suatu
naskah Qur-an yang
sangat
dapat dipercayai.
Sumber-sumber mengatakan
bahwa kemudian Umar bin Khathab
yang
menggantikan Abu Bakar pada tahun 634 M, menyuruh bikin
satu naskah
(mushaf) yang ia simpan, dan ia pesankan bahwa
setelah
ia mati, naskah tersebut diberikan kepada
anaknya
perempuan,
Hafsah janda Nabi Muhammad
Khalifah ketiga,
Uthman bin Affan yang menjabat dari tahun
644 sampai
655, membentuk suatu
panitya yang terdiri
daripada para
ahli dan memerintahkan
untuk melakukan
pembukuan besar
yang kemudian membawa
nama Khalifah
tersebut. Panitya
tersebut memeriksa dokumen yang dibuat
oleh Abubakar
dan yang dibuat
oleh Umar dan
kemudian
disimpan oleh
Hafsah, panitya berkonsultasi dengan
orang-orang
yang hafal Qur-an. Kritik tentang autentisitas
teks dilakukan secara ketat sekali. Persetujuan
saksi-saksi
diperlukan
untuk menetapkan suatu ayat kecil yang
mungkin
mempunyai arti lebih
dari satu; kita
mengetahui bahwa
beberapa
ayat Qur-an dapat menerangkan ayat-ayat
yang lain
dalam soal ibadat. Hal ini adalah wajar jika kita
mengingat
bahwa
kerasulan Muhammad adalah sepanjang dua puluh tahun.7
Dengan
cara tersebut di atas, diperolehlah suatu
teks di
mana urutan
Surat-surat mencerminkan urutan yang dilakukan
oleh
Nabi Muhammad ketika membaca Qur-a:n di bulan
Ramadlan
di muka
malaikat Jibril seperti yang
telah diterangkan di
atas.
Kita
dapat bertanya-tanya tentang motif yang
mendorong 3
Khalifah pertama, khususnya Uthman untuk mengadakan
koleksi
dan pembukuan
teks. Motif tersebut
adalah sederhana;
tersiarnya
Islam adalah sangat cepat pada beberapa dasawarsa
yang
pertama setelah wafatnya
Nabi Muhammad. Tersiarnya
Islam tersebut
terjadi di daerah-daerah yang penduduknya
tidak berbahasa
Arab. Oleh karena
itu perlu adanya
tindakan-tindakan pengamanan
untuk memelihara tersiarnya
teks
Qur-an dalam kemurnian aslinya. Pembukuan Uthman adalah
untuk
memenuhi hasrat ini.
Uthman mengirimkan
naskah-naskah teks pembukuannya
ke
pusat-pusat
Emperium Islam, dan oleh karena itu maka menurut
Professor
Hamidullah , pada waktu ini terdapat naskah Qur-an
(mushaf)
Uthman di Tasykent8 dan Istambul. Jika kita
sadar
akan kesalahan
penyalinan tulisan yang
mungkin terjadi,
manuskrip yang
paling kuno yang
kita miliki dan
yang
ditemukan
di negara-negara Islam adalah identik. Begitu juga
naskah-naskah
yang ada di Eropa. (Di Bibliotheque National
di Paris
terdapat fragmen-fragmen yang
menurut para ahli,
berasal
dan abad VIII dan IX Masehi,
artinya berasal dari
abad
II dan III Hijrah). Teks-teks kuno yang sudah ditemukan
semuanya
sama, dengan catatan ada
perbedaan-perbedaan yang
sangat kecil
yang tidak merubah
arti teks, jika konteks
ayat-ayat
memungkinkan cara membaca yang lebih
dari satu
karena tulisan
kuno lebih sederhana
daripada tulisan
sekarang.
Surat-surat
Qur-an yang berjumlah 114, diklasifikasi menurut
panjang pendeknya, dengan beberapa kekecualian. Oleh
karena
itu urutan
waktu (kronologi) wahyu
tidak dipersoalkan;
tetapi orang
dapat mengerti hal tersebut dalam
kebanyakan
persoalan. Banyak
riwayat-riwayat yang disebutkan
dalam
beberapa tempat
dalam teks, dan
hal ini memberi kesan
seakan-akan ada
ulangan. Sering sekali
suatu paragraf
menambahkan perincian
kepada suatu riwayat yang dimuat
di
lain
tempat secara kurang terperinci. Dan semua yang mungkin
ada hubungannya
dengan Sains modern,
seperti kebanyakan
hal-hal
yang dibicarakan oleh
Qur-an, dibagi-bagi dalam
Qur-an
dengan tidak ada suatu tanda adanya klasifikasi.
Turunnya wahyu kepada Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam berkaitan dengan perintah membaca dan belajar sebagaimana firman
Allah Ta’ala, “Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang telah menciptakan.
Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmu-lah
Yang Maha Pemurah. Yang mengajar manusia dengan perantaraan kalian. Dia
mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS. Al-‘Alaq:
1-5)
Sebelum
datangnya agama Islam, bangsa Arab tidaklah dikenal dengan kemampuan membaca
dan menulis, sehingga mereka lebih dikenal sebagai bangsa yang ummi
(tidak bisa membaca dan menulis). Namun demikian, tidak berarti bahwa diantara
mereka tidak ada seorang pun yang bisa menulis dan membaca. Keadaan ini
hanyalah sebagai ciri kebanyakan dari mereka. Sejarah telah mencatat bahwa
sejumlah orang diantara mereka ada yang mampu membaca dan menulis, Adiy bin
Zaid Al-Abbady (wafat 35 sebelum Hijriah) misalnya, sudah belajar menulis
hingga menguasainya, dan merupakan orang pertama yang menulis dengan bahasa
Arab dalam surat yang ditujukan kepada Kisra.
Kemudian pada masa Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam tulis-menulis sudah tersebar luas, dimana Al-Qur’an sendiri
menganjurkan untuk belajar dan membaca, dan Rasulullah sendiri mengangkat para
penulis wahyu jumlahnya mencapai 40 orang. Nama-nama mereka disebut dalam kitab
“At-Taratib Al-Idariyah”. Bahkan Baladzuri dalam kitab “Futuhul Buldan”
menyebutkan adanya sejumlah penulis wanita, diantara mereka: ummul mukminin
Hafshah, Ummu Kultsum binti Uqbah, Asy-Syifa’ binti Abdullah Al-Qurasyiyah,
Aisyah binti Sa’ad, Karimah binti Al-Miqdad.
Para penulis semakin banyak di Madinah setelah
hijrah, setelah perang Badar. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyuruh
Abdullah bin Sa’id bin Ash agar mengajar menulis di Madinah. Ibnu Hajar
menyebutkan bahwa nama asli Abdullah bin Said bin Al-Ash adalah Al-Hakam, lalu
Rasulullah memberinya nama dengan Abdullah, lalu menyuruhnya agar mengajar
menulis di Madinah.
Ada beberapa nash yang bertentangan dalam hal
penulisan hadits. Sebagian menunjukkan adanya larangan penulisan, dan sebagian
lain membolehkan adanya penulisan hadits.
a. Riwayat yang melarang
penulisan hadits
-
Dari Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
datang kepada kami dan sedangkan kami menulis hadits. Lalu beliau shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda, ‘Apa yang sedang kalian tulis?’ Kami
menjawab, ‘hadits-hadits yang kami dengar dari engkau.’ Beliau berkata, ‘Apakah
kalian menghendaki kitab selain Kitabullah? Tidaklah sesat umat sebelum kalian
melainkan karena mereka menulis dari kitab-kitab selain Kitabullah.’”
(Diriwayatkan dari Al-Khatib Al-Baghdadi dalam Taqyidul Ilmi)
b. Riwayat yang membolehkan
penulisan hadits
-
Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, “Tiada seorang pun dari sahabat Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam yang lebih banyak haditnya dariku kecuali Abdullah
bin Amru Al-Ash karena dia menulis sedangkan aku tidak menulis.” (HR. Bukhari)
-
Dari Anas
bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda, ‘Ikatlah ilmu dengan buku.’” (Diriwayatkan Al-Khatib dalam
Taqyidul Ilmi)
Atas dasar perbedaan nash inilah para ulama
berselisih pendapat dalam penulisan hadits. Ibnu Shalah berkata, “Para ulama
berselisih pendapat dalam penulisan hadits, sebagian diantara mereka melarang
penulisan hadits dan ilmu, serta menyuruh untuk menghafalnya. Sedangkan
sebagian yang lain membolehkannya.”
Mereka yang melarang penulisan hadits adalah Umar,
Ibnu Mas’ud, Zaid bin Tsabit, Abu Musa, Abu Sa’id Al-Khudri, dan sekelompok
lainnya dari kalangan sahabat dan tabi’in.
Sedangkan yang membolehkan penulisan hadits adalah
Ali, Hasan bin Ali, Anas, Abdullah bin Amru Al-Ash.
Para ulama telah memadukan dua pendapat yang
berselisih antara mereka yang melarang dan membolehkan penulisan hadits sebagai
berikut:
1. Larangan penulisan terjadi
pada awal masa perkembangan Islam sehingga dikhawatirkan akan terjadi
percampuran dan penggabungan antara hadits dan Al-Qur’an. Ketika keadaan telah
aman dan kondusif, serta jumlah penghafal Al-Qur’an telah banyak, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam mengizinkan untuk menulis hadits, dan larangan
sebelumnya mnejadi mansukh (terhapus).
2. Larangan hanya khusus pada
penulisan hadits bersamaan dengan Al-Qur’an dalam satu lembar atau shahifah,
karena khawatir terjadi kemiripan atau kesamaan.
3. Larangan hanya bagi orang yang
diyakini mampu menghafalnya karena dikhawatirkan akan bergantung pada tulisan,
sedangkan diperbolehkan penulisan hanya bagi orang yang diyakini tidak mampu
dalam menghafalnya.
Dan tidak diragukan lagi bahwa adanya perbedaan ini
hanyalah terjadi pada masa awal saja, kemudian ijma’ kamu muslimin sepakat
membolehkan penulisan tersebut. Ibnu Ash-Shalah berkata, “Lalu hilanglah
perbedaan, dan kaum muslimin sepakat untuk membolehkannya. Kalaulah tidak
dibukukan dalam bentuk tulisan, tentu hadits itu akan lenyap pada masa-masa
berikutnya.”
Pembukuan Hadits
Pembukuan berbeda dengan penulisan. Seseorang yang
menulis sebuah shahifah (lembaran) atau lebih disebut dengan penulisan.
Sedangkan pembukuan adalah mengumpulkan lembaran-lembaran yang sudah tertulis
dan yang dihafal, lalu menyusunnya sehingga menjadi sebuah buku.
Upaya untuk mengumpulkan dan membukukan hadits
telah dilakukan pertama kali oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Hal-hal yang
mendorong untuk melakukan pengumpulan dan pembukuan adalah:
-
Tidak
adanya larangan pembukuan, sedangkan Al-Qur’an telah dihafal oleh ribuan orang,
dan telah dikumpulkan serta dibukukan pada masa Khalifah Utsman bin Affan.
Dengan demikian dapat dibedakan dengan jelas antara Al-Qur’an dengan hadits.
-
Kekhawatiran
akan hilangnya hadits karena ingatan kuat yang menjadi kelebihan orang Arab
semakin melemah, sedangkan para ulama telah menyebar dibeberapa penjuru negeri
Islam setelah terjadi perluasan kekuasaan negeri Islam.
-
Munculnya
pemalsuan hadits akibat perselisihan politik dan madzhab setelah terjadinya
fitnah, dan terpecahnya kaum muslimin menjadi pengikut Ali dan pengikut
Mu’awiyah, serta Khawarij yang keluar dari keduanya. Masing-masing golongan
berusaha memperkuat madzhab-nya dengan cara menafsirkan Al-Qur’an dengan makna
yang bukan sebenarnya.
Akan tetapi, upaya pengumpulan ini belum menyeluruh
dan sempurna karena Umar bin Abdul Aziz wafat sebelum Abu Bakar bin Hazm
mengirimkan hasil pembukuan hadits kepadanya. Para ahli hadits memandang bahwa
upaya Umar bin Abdul Aziz merupakan langkah awal dari pembukuan hadits. Mereka
mengatakan, “Pembukuan hadits ini terjadi pada penghujung tahun ke 100 pada
masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz atas perintahnya.”
Adapun upaya pembukuan yang sebenarnya dan
menyeluruh dilakukan oleh Imam Muhammad bin Syihab Az-Zuhri yang menyambut
seruan Umar bin Abdul Aziz dengan tulus yang didasari karena kecintaan pada
hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan keinginannya untuk melakukan
pengumpulan.
Pembukuan hadits pada mulanya belum disusun secara
sistematis dan tidak berdasarkan pada urutaan bab-bab pembahasan ilmu. Upaya
pembukuan ini kemudian banyak dilakukan oleh ulama-ulama setelah Az-Zuhri
dengan metode yang berbeda-beda. Kemudian para ulama hadits menyusunnya secara
sistematis dengan menggunakan metode berdasarkan sanad dan berdasarkan bab.
Ibnu Hajar berkata, “Orang yang pertama melakukan
demikian itu adalah Ar-Rabi’ bin Shubaih (wafat 16 H) dan Said bin Abi Arubah
(wafat 156 H) hingga kepada para ulama thabaqah (lapisan) ketiga (dari kalangan
tabi’in). Imam Malik menyusun Al-Muwatha’ di Madinah, Abdullah bin Juraij di
Makkah, Al-Auza’I di Syam, Sufyan At-Tsauri di Kufah, Hamad bin Salamah bin
Dinar di Basrah.”
Buku-buku yang ditulis pada masa itu dan kini sudah
dicetak antara lain:
a. Al-Muwatha’ karya Imam Malik
bin Anas
b. Al-Mushannaf karya Abdurrazaq
bin Hammam Ash-Shan’ani
c. As-Sunan karya Said bin Mansur
d. Al-Mushannaf karya Abu Bakar
bin Abu Syaibah
Karya-karya
tersebut tidak hanya terbatas pada kumpulan hadits-hadits Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam, akan tetapi bercampur antara hadits Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam, perkataan para sahabat, dan fatwa para tabi’in.
Kemudian ulama pada periode berikutnya memisahkan pembukuan hanya pada hadits
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam saja