Mencari
Letak Perempuan dalam Islam
Tafsir dan Diskursus Feminisme
Musabihan[1]
Mukaddimah
Islam diturunkan sebagai agama
universal, meski kelahirannya berada di jazirah Arab. Ia tumbuh dan
diperuntukkan bagi umat manusia, siapapun dan dimanapun. Untuk itulah, Islam
mengandung seperangkat nilai-nilai, aturan-aturan, dan juga semangat hidup yang
terus dijadikan acuan sepanjang masa.
Keuniversalan Islam bisa dimaknai bahwa
agama yang turun terakhir kali ini mencoba menjadi ruh bagi peradaban. Ia harus
beriringan dengan kenyataan yang ada. Bassam Tibbi dalam Islam dan Perubahan
Sosial (Tiara Wacana: 1998) mengatakan selama ada dua perspektif yang
dominan digunakan untuk memahami agama kaitannya dengan kenyataan, yakni agama
sebagai model of reality dan sebagai model for reality.
Yang pertama mengacu pada agama (teks
Al Qur’an) sebagai blue-print (cetakan) atas kenyataan, biasanya dianut
oleh kelompok skriptural. Sedangkan istilah kedua merujuk pada pentingnya
penafsiran yang kontekstual atas agama (teks Al Qur’an) untuk menyesuaikan
dengan kenyataan yang ada. Kedua cara pandang inilah yang “meramaikan”
dialektika Islam dan realitas sepanjang berabad-abad.
Salah satu wacana besar yang agaknya
tak dapat dikesampingkan adalah masalah perempuan. Terutama kaitannya
secara sosial, budaya, dan politik dengan laki-laki. Wacana ini muncul saat
terasa ada ketimpangan hak dan peran antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki
lebih banyak berperan di sektor publik, dan perempuan ada di wilayah domestik.
Hal di atas adalah
kondisi obyektif yang ada di sebagian besar masyarakat. Entah di barat atau pun
timur. Dan ini harus dijawab oleh, salah satunya, Islam agar Islam dapat
bersesuaian dengan kenyataan yang ada. Kalau tidak, maka Islam akan akan
kehilangan relevansinya terhadap peradaban. Padahal, Allah sendiri menjanjiikan
bahwa: Al-Qur’an adalah satu-satunya Kitab Suci yang terjaga kemurniannya
sepanjang masa.
Deskripsi
Perempuan:
Model Tafsir
Tradisional Islam
Al-Qur’an
memberikan ruang khusus, sebetulnya, atas keberadaan perempuan. Kisah
penciptaan Adam dan Hawa, misalnya. Di sana disebutkan bahwa Hawa diciptakan
Allah dari tulang rusuk Adam. Keberadaan Hawa merupakan takdir. Begitu juga
dengan Adam. Keduanya pun juga ditakdirkan berpasang-pasangan di dalam
kehidupan.
Lebih jauh, jika
kita membaca teks tentang perempuan dalam Al-Qur’an, tentu saja kita
berkesimpulan bahwa Al-Qur’an telah banyak memberikan gambaran yang lebih baik
tentang kehidupan personal, sosial, dan spiritual dari pada masyarakat
pra-Islam. Misalnya, perempuan menerima bagian warisan meski jumlah lebih
sedikit dibanding laki-laki, sebab ia akan menerima kehidupan dan harta dari
suaminya dan mas kawin sepenuhnya dan selamanya. Perempuan memiliki hak
mengurus kesehatannya dan seluruh kehidupannya berdasarkan harta pribadi yang
dimilikinya itu, dan lain sebagainya.
Dalam perceraian, hak menceraikan sepenuhnya ada pada
laki-laki dengan mengumumkan thalaq. Meski demikian, perempuan dapat memasukkan
satu klausul dalam perjanjiannya, bahwa karena suatu sebab—misalnya penyakit,
impotensi atau karena tidak bisa memberi nafkah lagi—perempuan dapat meinta
pihak ketiga untuk menceraikan perkawinan mereka.
Dalam hal soal keagamaan, laki-laki
dan perempuan mempunyai kedudukan yang sama di hadapan Allah. Semua kewajiban
agama berlaku bagi keduanya. Kecuali beberapa hal, misalnya, perempuan tidak
wajib shalat Jum’at, saat haid perempuan juga tidak diperbolehkan berpuasa atau
shalat—meski wajib diganti dengan waktu yang lain atau denda, dan lain
sebagainya.
Dalam kehidupan sosial banyak juag perempuan Muslim yang menonjol.
Istrio-istri Nabi adalah perempuan yang aktif. Siti Khatidjah yang pedagang,
Aisyiah yang meriwayatkan banyak Hadits, juga ikut berperang. Pun halnya dengan
Ummu Salamah. Putri Nabi, Fatimah menjadi idola kaum Syiah karena keaktifannya
dalam kehidupan sosial dan spiritual. Dan banyak lagi lainnya. beberapa buku
terbitan Mizan: Ratu-ratu yang Terlupakan, Kembang-kembang Peradaban,
dan Sufi-sufi Wanita.
Islam dan
Diskursus Feminisme
Perdebatan Islam dan feminisme,
mungkin, tidak bisa dilacak kapan dimulainya. Kira-kira pada beriringan dengan
proyek “demokratisasi” di belahan bumi manapun di abad XIX-an. Hanya saja, di
abad XX-an diskursus Islam dan feminisme lebih kentara. Karena diwarnai dengan
berbagai gerakan sosial.
Tidak bisa tidak, keberadaan nalar
modern yang lebih mengedepankan akal dibanding rasa atau keyakinan menjadi api
yang mempengaruhi dinamika keagamaan, khususnya dalam konteks wacana perempuan.
Hal ini memungkinkan manusia menanya-ulang kembali atas kenyataan yang ada.
Dalam hal wacana perempuan, kecurigaan terhadap dominasi penafsiran teks Kitab
Suci mulai ditumbuhkan. Sehingga, titik pangkal dari diskursus Islam dan
feminisme sebetulnya hanyalah bagaimana Islam merepresentasikan dan mempengaruhi
posisi dan eksistensi perempuan di dalam kenyataan sehari-hari.
Analisis feminis meyakini betul bahwa
gambaran perempuan dalam teks Kitab Suci tidak otomatis terwujud dalam
kenyataan. Kitab Suci adalah nilai ideal, sedangkan kenyataan adalah nilai nyata
atau materiil. Karena itu, bias atau kesenjangan antara teks dengan kenyataan
merupakan sebuah keniscayaan. Misalnya, banyaknya kasus pelecehan terhadap
perempuan dilain pihak agama tidak mampu berbuat apa-apa, di dalam agama pun
posisi perempuan lebih banyak ditegaskan pada sektor domestik, “obyek
penderita” dalam hal KB sering kali perempuan dan itu mendapat legitimasi dari
organ keagamaan, dan lain-lain. Seolah-olah perempuan menjadi obyek atas
kondisi yang ada. Pertanyaannya adalah: Dimanakah kemerdekaan perempuan sebagai
manusia dan hamba Tuhan?
Kesadaran terhadap timpangnya relasi
perempuan dan laki-laki yang kemudian dikenal dengan istilah gender—belum
begitu lama dikenal di dalam pemikiran Islam—yang kemudian menjadi gerakan
feminisme. Menurut kaum feminis kenyataan hidup adalah konstruksi sosial,
politik, dan budaya. Juga dalam hal
posisi perempuan. Kenyataan dimana perempuan lebih banyak berada di sektor
domestik merupakan “rekayasa” sistem hidup (life-system) yang dominan.
Ada tiga teori feminis yang secara
umum dicatat oleh Nasaruddin Umar dalam bukunya, Argumen Kesetaraan Gender,
Perspektif al-Qur’an (Mizan: 1999). Pertama, Feminisme Liberal.
Dasar pemikiran kelompok ini adalah semua manusia sama, laki-laki dan
perempuan, diciptakan seimbang dan serasi dan mestinya tidak terjadi penindasan
antara satu dengan yang lain. Para penganut teori ini termasuk paling moderat
di antara kelompok feminis dan menghendaki agar perempuan diintegrasikan secara
total dalam semua peran, termasuk bekerja di luar rumah. Kelompok ini
beranggapan bahwa tidak mesti dilakukan perubahan struktural secara menyeluruh,
tetapi cukup melibatkan perempuan saja di segala level: politik, sosial,
budaya.
Kedua, Feminisme Marxis-Sosialis. Kelompok
ini “meyakini” bahwa posisi inferior perempuan berkaitan dengan struktur kelas
sosial dan keluarga dalam masyarakat kapitalis. Untuk mengemebalikan perempuan
pada “tempat semula” (baca: serasi dan seimbang dengan laki-laki), maka
diperlukan peninjauan kembali struktur
atau sistem hidup yang ada. Terutama
dengan menghapuskan dikotomi pekerjaan di sektor publik dan domestik.
Ketiga, Feminisme Radikal. Aliran ini muncul
belakangan dengan mengangkat isu besar: menggugat semua lembaga yang dianggap
merugikan perempuan seperti lembaga patriarkhi. Sesuai namanya: Radikal,
kelompok ini adalah aliran feminis yang paling ekstrem. Misalnya, tuntutannya
tidak hanya sebatas hak, tapi juga menyangkut persamaan “seks”, dalam arti
kepuasan seksual. Ujung-ujungnya mereka mempersilahkan praktek lesbian.
Karenanya, harus ada perubahan yang maha dahsyat untuk mengubah kondisi
perempuan.
Terlepas dari
berbagai teori feminis yang berkembang, Wardah Hafidz dalam wawancaranya di Jurnal
Ulumul Qur’an No. 3, Vol. VI, Tahun 1995 mengatakan bahwa feminisme merupakan
agenda baru dalam pemikiran Islam. Menurutnya kajian politik Islam, ekonomi
Islam, negara Islam sudah ada sejak tahun 1970-an, tapi masalah gender Islam
belum ada. Seolah-olah persoalan itu sudah selesai dan sempurna. Padahal masih banyak
masalah seputar perempuan. Tidak saja di Indonesia, tapi juga di belahan bumi
mana pun.
Sebagaimana
dikutip di atas, ada tiga teori feminisme yang secara umum digunakan dalam
mengangkat masalah perempuan. Akan tetapi, yang jelas ketiganya bersepakat
memperjuangkan kesetaraan laki-laki dan perempuan. Terutama perjuangan
mendapatkan kembali hak-hak perempuan yang telah “dirampas” oleh sistem hidup
yang selama ini menjeratnya: sistem patriarkhi.
Menurut kaum
feminis selama ini kaum perempuan lebih banyak dilihat dari sudut pandang
laki-laki. Misalnya saja, wacana-wacana keperempuanan ditulis oleh laki-laki,
lalu keputusan-keputusan penting di level manapun dipegang laki-laki, dan lain
sebagainya. Perempuan seperti “manusia kedua”, atau manusia pendamping saja
bagi laki-laki. Hal-hal semacam ini merupakan bagian konsekuensi terhadap
kenyataan begitu dominannya masyarakat patriarkhi dalam menyudutkan perempuan.
Karena itu, analisis feminis dapat digunakan untuk menggugat struktur
masyarakat patriarkhi (laki-laki sebagai pusat).
Soal ketimpangan
relasi laki-laki dan perempuan, dalam penghampiran feminisme, tidak berkaitan
dengan kerohanian (keimanan), tapi murni hubungan sosial. Pernyataan ini
berangkat dari teks agama sendiri: Bahwa dihadapan Allah laki-laki dan
perempuan adalah setara. Mengapa perempuan dihadapan laki-laki tidak setara?
Berarti ada masalah yang menciptakan kondisi seperti itu. Kecurigaan semacam
ini yang oleh Paul Ricoeur disebut sebagai “exercise of suspicion”
(latihan kecurigaan).
Dalam rangka
penerapan metode kecurigaan ini, metoodologi ilmu-ilmu sosial dan filsafat bisa
dipakai. Yang penting tercapai pembongkaran, dan dari sini dimulailah suatu
penafsiran baru berdasarkan suatu visi kesetaraan jender. Semua argumen
supremasi atas perempuan harus dicurigai, walaupun itu adalah teks-teks suci
yang secara literal memang memperlihatkan watak ketidaksetaraan.
Budhy
Munawar-Rachman dalam artikelnya di Majalah Filsafat Driyarkara, Tahun
1997, no. 2 hlm 43-59 melihat ada bias hermeneutis (penafsiran) khusus masalah perempuan.
Dalam tafsir tradisional, perempuan lebih banyak diposisikan secara subordinat
dibawah laki-laki. Contoh kecil: Banyak Hadits yang menggambarkan soal hak
seksual yang lebih pada laki-laki misalnya, “Seandainya suaminya meminta
dirinya, sementara ia masih berada di atas punggung onta, maka tidak boleh
menolak suaminya atas dirinya”.Tetapi ini tidak berarti bahwa laki-laki
boleh memperlakukan istrinya sembarangan, sebagai miliknya. Hadits Nabi, “Yang
paling baik di antara kalian, adalah yang paling baik memperlakukan istrinya…” (AM
No. 57)
Kebanyakan tafsir
yang ada lebih memihak kepada laki-laki. Apa lagi kalau muncul argumen bahwa
sebetulnya perempuan adalah makhluk yang tercipta dari tulang rusuk laki-laki.
Secara otomatis, akan menegaskan kodrat perempuan memang ada di bawah
laki-laki. Penghampiran feminis melihat masalah ini sebagai bagian dari
rekayasa masyarakat patriarkhi untuk selalu menomor-duakan perempuan dengan
argumen teologis. Entah dengan kepentingan apa. Yang jelas, sangat bisa jadi kaum
laki-laki memang tidak mau digusur dari sektor yang selama ini digelutinya:
sektor publik. Karena pada sektor inilah sebetulnya peran manusia terasa lebih
bebas, merdeka, dan nyaman.
Khusus masalah tafsir, Nasaruddin Umar dalam
bukunya Argumen Kesetaraan Jender, Perspektif Al-Qur’an (Mizan: 1999)
bias dalam pemahaman teks Kitab Suci ada dalam berbagai tingkatan linguistik.
Ada 10 poin bia, yakni; pembakuan tanda huruf, tanda baca, dan qira’at,
pengertian kosa kata, penetapan rujukan kata ganti, penetapan batas
pengecualian, penetapan arti huruf, bias dalam struktur bahasa, bias dalam
kamus Bahasa Arab, bias dalam metode tafsir, pengaruh riwayat Isra’ilyyat, dan
bias dalam pembukuan dan pembakuan Kitab-kita Fiqh.
Berbekal dari
tafsir yang ada inilah kaum feminis mulai melakukan analisisnya. Dari
konstruksi menuju dekonstruksi, dan akhirnya menuju konstruksi lagi
(rekonstruksi). Dengan demikian wilayah yang akan diambil dalam analisis
feminis adalah sektor pendobrakan terhadap kemapanan struktur pikiran masyarakat
patriarkhi. Dan, tentu saja proyek semacam ini tidak bisa langsung sekali jadi.
Butuh waktu yang lama untuk sekadar mengintegrasikan kesadaran kesetaraan
jender dalam masyarakat.
Perempuan,
Pos-modern:
Basis
Analisis Kaum Feminis Kontemporer
Hal utama yang harus “diyakini” adalah
bahwa tidak ada grand narrative (cerita besar) yang mengangkangi satu
aspek kehidupan manusia. Maksudnya, tidak mungkin hanya soal perempuan
dikisahkan oleh semua aspek kehidupan, teks Kitab Suci, argumentasi nalar, fenomena
sosial, dan lain-lain. Yang ada hanyalah cerita-cerita kecil—yang oleh kaum
pos-modern dan pos-strukturalis disebut “teks”. Wacana tentang perempuan adalah
jaringan-jaringan wacana yang kemudian menjadi (atau dijadikan) satu oleh
realitas yang ada.
Jika saja perempuan diletakkan dalam
jaringan teks besar laki-laki, maka menurut penghampiran feminis-posmodern,
maka harus dilakukan pembalikan: Keluar dari dari sudut pandang laki-laki.
Cerita besar tentang perempuan yang berangkat dari landasan teologis harus
ditolak dengan argumen teologis pula. Kalau banyak Teks Kitab Suci yang
menyatakan perempuan berwajah A, maka Teks Kitab Suci yang sama sebetulnya juga
menyatakan perempuan berwajah B. Semisal, ketidaksetaraan jender yang ada dalam
Al-Qur’an, bisa terhapus dengan dasar Al-Qur’an juga bahwa: Perempuan dan
laki-laki adalah setara dihadapan Allah.
Dua kata kunci yang dapat digunakan
lebih lanjut dalam penghampiran feminisme-posmoder adalah “representasi” dan
keterkaitan antara “pengetahuan sebagai kekuasaan”. Kata pertama
merupakan temuan dari filsuf asal Perancis yang mengacu pada ide, gambaran,
image, narasi, visualisasi, dan produk-produk keilmuan yang berkaitan dengan
penafsiran atas perempuan selama ini. Sedangkan, kata kedua digunakan oleh
filsuf dekonstruksionis asal Perancis juga Michelle Faucoult. Keduanya
memandang bahwa persoalan citra—reprentasi, yang dalam ilmu sosial lebih
dikenal dengan istilah teks--lebih banyak berperan dalam mengkonstruk nalar
manusia dalam melihat sesuatu. Juga, dalam melihat perempuan.
Kalau semua yang
ada berkaitan dengan realitas perempuan adalah representasi, dan setiap
representasi adalah teks, maka kalau kita mencurigai representasi yang ada,
kita juga harus curiga pada teks-teksnya. Dan karena setiap teks bersifat culturally
dan socially constructed (dikonstruksikan) sesuai zamannya, maka
kita pun patut mencurigai bahwa teks-teks lama tidak lagi cukup relevan bagi
zaman sekarang. Harus ada representasi baru yang lebih kontekstual dari pada
representasi lama.
Epilog
Sebagai sebuah wacana, tentu saja,
Islam dan feminisme masih membuka peluang ada keluar masuknya pintu nalar lebih
jauh. Yang jelas, meski kini sudah kelihatan muncul feminis-feminis Muslim
seperti Fatima Mernissi, Nawal el-Sadawi, Wardah Hafidz, dan lain-lain
perempuan-perempuan Muslim yang lain masih berada dalam ruang kepengapan
masyarakat patriarkhi.
Karena itulah,
perjuangan kaum feminis atau minimal kesadaran gender bagi perempuan dan
laki-laki masih sangatlah dibutuhkan. Dan untuk itu, Islam memang harus bisa
merangkum wacana feminisme dalam dialog yang manis antara teks (Kitab Suci) dan
konteks. Tanpa itu semua, tidak mustahil Islam akan kehilangan banyak
“konstituen”.
Akhirnya, sedikit
gambaran tentang Islam dan diskursus feminisme mungkin bisa mengisi ruang
dialektika itu. Meski, harus penulis sadari masih banyak yang “lepas” dari
tulisan yang hanya sepenggal ini. Kritik, tanggapan, dan saran, tentu saja,
akan sangat bermanfaat dalam mengkomunikasikan nalar untuk lebih berperspektif
gender, bernaluri feminis, namun tetap beriman.
[1] Penulis adalah anak buruh tani asal
Kebumen, saat ini sedang mendapat amanah untuk menjalankan mandat sebagai Ketua
I PKC PMII Jawa Tengah 2006-2008.
No comments:
Post a Comment
sisipkan Alamat email anda: