materi perkuliahan STAIBN tegal

Saturday, May 26, 2012

Mencari Letak Perempuan dalam Islam


Mencari Letak Perempuan dalam Islam

Tafsir dan Diskursus Feminisme

Musabihan[1]


Mukaddimah

Islam diturunkan sebagai agama universal, meski kelahirannya berada di jazirah Arab. Ia tumbuh dan diperuntukkan bagi umat manusia, siapapun dan dimanapun. Untuk itulah, Islam mengandung seperangkat nilai-nilai, aturan-aturan, dan juga semangat hidup yang terus dijadikan acuan sepanjang masa.
Keuniversalan Islam bisa dimaknai bahwa agama yang turun terakhir kali ini mencoba menjadi ruh bagi peradaban. Ia harus beriringan dengan kenyataan yang ada. Bassam Tibbi dalam Islam dan Perubahan Sosial (Tiara Wacana: 1998) mengatakan selama ada dua perspektif yang dominan digunakan untuk memahami agama kaitannya dengan kenyataan, yakni agama sebagai model of reality dan sebagai model for reality.
Yang pertama mengacu pada agama (teks Al Qur’an) sebagai blue-print (cetakan) atas kenyataan, biasanya dianut oleh kelompok skriptural. Sedangkan istilah kedua merujuk pada pentingnya penafsiran yang kontekstual atas agama (teks Al Qur’an) untuk menyesuaikan dengan kenyataan yang ada. Kedua cara pandang inilah yang “meramaikan” dialektika Islam dan realitas sepanjang berabad-abad.
Salah satu wacana besar yang agaknya tak dapat dikesampingkan adalah masalah perempuan. Terutama kaitannya secara sosial, budaya, dan politik dengan laki-laki. Wacana ini muncul saat terasa ada ketimpangan hak dan peran antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki lebih banyak berperan di sektor publik, dan perempuan ada di wilayah domestik.
Hal di atas adalah kondisi obyektif yang ada di sebagian besar masyarakat. Entah di barat atau pun timur. Dan ini harus dijawab oleh, salah satunya, Islam agar Islam dapat bersesuaian dengan kenyataan yang ada. Kalau tidak, maka Islam akan akan kehilangan relevansinya terhadap peradaban. Padahal, Allah sendiri menjanjiikan bahwa: Al-Qur’an adalah satu-satunya Kitab Suci yang terjaga kemurniannya sepanjang masa.

Deskripsi Perempuan:

Model Tafsir Tradisional Islam

Al-Qur’an memberikan ruang khusus, sebetulnya, atas keberadaan perempuan. Kisah penciptaan Adam dan Hawa, misalnya. Di sana disebutkan bahwa Hawa diciptakan Allah dari tulang rusuk Adam. Keberadaan Hawa merupakan takdir. Begitu juga dengan Adam. Keduanya pun juga ditakdirkan berpasang-pasangan di dalam kehidupan.
Lebih jauh, jika kita membaca teks tentang perempuan dalam Al-Qur’an, tentu saja kita berkesimpulan bahwa Al-Qur’an telah banyak memberikan gambaran yang lebih baik tentang kehidupan personal, sosial, dan spiritual dari pada masyarakat pra-Islam. Misalnya, perempuan menerima bagian warisan meski jumlah lebih sedikit dibanding laki-laki, sebab ia akan menerima kehidupan dan harta dari suaminya dan mas kawin sepenuhnya dan selamanya. Perempuan memiliki hak mengurus kesehatannya dan seluruh kehidupannya berdasarkan harta pribadi yang dimilikinya itu, dan lain sebagainya.
Dalam perceraian, hak menceraikan sepenuhnya ada pada laki-laki dengan mengumumkan thalaq. Meski demikian, perempuan dapat memasukkan satu klausul dalam perjanjiannya, bahwa karena suatu sebab—misalnya penyakit, impotensi atau karena tidak bisa memberi nafkah lagi—perempuan dapat meinta pihak ketiga untuk menceraikan perkawinan mereka.
Dalam hal soal keagamaan, laki-laki dan perempuan mempunyai kedudukan yang sama di hadapan Allah. Semua kewajiban agama berlaku bagi keduanya. Kecuali beberapa hal, misalnya, perempuan tidak wajib shalat Jum’at, saat haid perempuan juga tidak diperbolehkan berpuasa atau shalat—meski wajib diganti dengan waktu yang lain atau denda, dan lain sebagainya.
Dalam kehidupan sosial  banyak juag perempuan Muslim yang menonjol. Istrio-istri Nabi adalah perempuan yang aktif. Siti Khatidjah yang pedagang, Aisyiah yang meriwayatkan banyak Hadits, juga ikut berperang. Pun halnya dengan Ummu Salamah. Putri Nabi, Fatimah menjadi idola kaum Syiah karena keaktifannya dalam kehidupan sosial dan spiritual. Dan banyak lagi lainnya. beberapa buku terbitan Mizan: Ratu-ratu yang Terlupakan, Kembang-kembang Peradaban, dan Sufi-sufi Wanita.

Islam dan Diskursus Feminisme

Perdebatan Islam dan feminisme, mungkin, tidak bisa dilacak kapan dimulainya. Kira-kira pada beriringan dengan proyek “demokratisasi” di belahan bumi manapun di abad XIX-an. Hanya saja, di abad XX-an diskursus Islam dan feminisme lebih kentara. Karena diwarnai dengan berbagai gerakan sosial.
Tidak bisa tidak, keberadaan nalar modern yang lebih mengedepankan akal dibanding rasa atau keyakinan menjadi api yang mempengaruhi dinamika keagamaan, khususnya dalam konteks wacana perempuan. Hal ini memungkinkan manusia menanya-ulang kembali atas kenyataan yang ada. Dalam hal wacana perempuan, kecurigaan terhadap dominasi penafsiran teks Kitab Suci mulai ditumbuhkan. Sehingga, titik pangkal dari diskursus Islam dan feminisme sebetulnya hanyalah bagaimana Islam merepresentasikan dan mempengaruhi posisi dan eksistensi perempuan di dalam kenyataan sehari-hari.
Analisis feminis meyakini betul bahwa gambaran perempuan dalam teks Kitab Suci tidak otomatis terwujud dalam kenyataan. Kitab Suci adalah nilai ideal, sedangkan kenyataan adalah nilai nyata atau materiil. Karena itu, bias atau kesenjangan antara teks dengan kenyataan merupakan sebuah keniscayaan. Misalnya, banyaknya kasus pelecehan terhadap perempuan dilain pihak agama tidak mampu berbuat apa-apa, di dalam agama pun posisi perempuan lebih banyak ditegaskan pada sektor domestik, “obyek penderita” dalam hal KB sering kali perempuan dan itu mendapat legitimasi dari organ keagamaan, dan lain-lain. Seolah-olah perempuan menjadi obyek atas kondisi yang ada. Pertanyaannya adalah: Dimanakah kemerdekaan perempuan sebagai manusia dan hamba Tuhan?
Kesadaran terhadap timpangnya relasi perempuan dan laki-laki yang kemudian dikenal dengan istilah gender—belum begitu lama dikenal di dalam pemikiran Islam—yang kemudian menjadi gerakan feminisme. Menurut kaum feminis kenyataan hidup adalah konstruksi sosial, politik, dan budaya.  Juga dalam hal posisi perempuan. Kenyataan dimana perempuan lebih banyak berada di sektor domestik merupakan “rekayasa” sistem hidup (life-system) yang  dominan.
Ada tiga teori feminis yang secara umum dicatat oleh Nasaruddin Umar dalam bukunya, Argumen Kesetaraan Gender, Perspektif al-Qur’an (Mizan: 1999). Pertama, Feminisme Liberal. Dasar pemikiran kelompok ini adalah semua manusia sama, laki-laki dan perempuan, diciptakan seimbang dan serasi dan mestinya tidak terjadi penindasan antara satu dengan yang lain. Para penganut teori ini termasuk paling moderat di antara kelompok feminis dan menghendaki agar perempuan diintegrasikan secara total dalam semua peran, termasuk bekerja di luar rumah. Kelompok ini beranggapan bahwa tidak mesti dilakukan perubahan struktural secara menyeluruh, tetapi cukup melibatkan perempuan saja di segala level: politik, sosial, budaya.
Kedua, Feminisme Marxis-Sosialis. Kelompok ini “meyakini” bahwa posisi inferior perempuan berkaitan dengan struktur kelas sosial dan keluarga dalam masyarakat kapitalis. Untuk mengemebalikan perempuan pada “tempat semula” (baca: serasi dan seimbang dengan laki-laki), maka diperlukan peninjauan kembali  struktur atau sistem hidup yang ada. Terutama dengan menghapuskan dikotomi pekerjaan di sektor publik dan domestik.
Ketiga, Feminisme Radikal. Aliran ini muncul belakangan dengan mengangkat isu besar: menggugat semua lembaga yang dianggap merugikan perempuan seperti lembaga patriarkhi. Sesuai namanya: Radikal, kelompok ini adalah aliran feminis yang paling ekstrem. Misalnya, tuntutannya tidak hanya sebatas hak, tapi juga menyangkut persamaan “seks”, dalam arti kepuasan seksual. Ujung-ujungnya mereka mempersilahkan praktek lesbian. Karenanya, harus ada perubahan yang maha dahsyat untuk mengubah kondisi perempuan.
Terlepas dari berbagai teori feminis yang berkembang, Wardah Hafidz dalam wawancaranya di Jurnal Ulumul Qur’an No. 3, Vol. VI, Tahun 1995 mengatakan bahwa feminisme merupakan agenda baru dalam pemikiran Islam. Menurutnya kajian politik Islam, ekonomi Islam, negara Islam sudah ada sejak tahun 1970-an, tapi masalah gender Islam belum ada. Seolah-olah persoalan itu sudah selesai dan sempurna. Padahal masih banyak masalah seputar perempuan. Tidak saja di Indonesia, tapi juga di belahan bumi mana pun.

Sebagaimana dikutip di atas, ada tiga teori feminisme yang secara umum digunakan dalam mengangkat masalah perempuan. Akan tetapi, yang jelas ketiganya bersepakat memperjuangkan kesetaraan laki-laki dan perempuan. Terutama perjuangan mendapatkan kembali hak-hak perempuan yang telah “dirampas” oleh sistem hidup yang selama ini menjeratnya: sistem patriarkhi.
Menurut kaum feminis selama ini kaum perempuan lebih banyak dilihat dari sudut pandang laki-laki. Misalnya saja, wacana-wacana keperempuanan ditulis oleh laki-laki, lalu keputusan-keputusan penting di level manapun dipegang laki-laki, dan lain sebagainya. Perempuan seperti “manusia kedua”, atau manusia pendamping saja bagi laki-laki. Hal-hal semacam ini merupakan bagian konsekuensi terhadap kenyataan begitu dominannya masyarakat patriarkhi dalam menyudutkan perempuan. Karena itu, analisis feminis dapat digunakan untuk menggugat struktur masyarakat patriarkhi (laki-laki sebagai pusat).
Soal ketimpangan relasi laki-laki dan perempuan, dalam penghampiran feminisme, tidak berkaitan dengan kerohanian (keimanan), tapi murni hubungan sosial. Pernyataan ini berangkat dari teks agama sendiri: Bahwa dihadapan Allah laki-laki dan perempuan adalah setara. Mengapa perempuan dihadapan laki-laki tidak setara? Berarti ada masalah yang menciptakan kondisi seperti itu. Kecurigaan semacam ini yang oleh Paul Ricoeur disebut sebagai “exercise of suspicion” (latihan kecurigaan).
Dalam rangka penerapan metode kecurigaan ini, metoodologi ilmu-ilmu sosial dan filsafat bisa dipakai. Yang penting tercapai pembongkaran, dan dari sini dimulailah suatu penafsiran baru berdasarkan suatu visi kesetaraan jender. Semua argumen supremasi atas perempuan harus dicurigai, walaupun itu adalah teks-teks suci yang secara literal memang memperlihatkan watak ketidaksetaraan.
Budhy Munawar-Rachman dalam artikelnya di Majalah Filsafat Driyarkara, Tahun 1997, no. 2 hlm 43-59 melihat ada bias hermeneutis (penafsiran) khusus masalah perempuan. Dalam tafsir tradisional, perempuan lebih banyak diposisikan secara subordinat dibawah laki-laki. Contoh kecil: Banyak Hadits yang menggambarkan soal hak seksual yang lebih pada laki-laki misalnya, “Seandainya suaminya meminta dirinya, sementara ia masih berada di atas punggung onta, maka tidak boleh menolak suaminya atas dirinya”.Tetapi ini tidak berarti bahwa laki-laki boleh memperlakukan istrinya sembarangan, sebagai miliknya. Hadits Nabi, “Yang paling baik di antara kalian, adalah yang paling baik memperlakukan istrinya…” (AM No. 57)
Kebanyakan tafsir yang ada lebih memihak kepada laki-laki. Apa lagi kalau muncul argumen bahwa sebetulnya perempuan adalah makhluk yang tercipta dari tulang rusuk laki-laki. Secara otomatis, akan menegaskan kodrat perempuan memang ada di bawah laki-laki. Penghampiran feminis melihat masalah ini sebagai bagian dari rekayasa masyarakat patriarkhi untuk selalu menomor-duakan perempuan dengan argumen teologis. Entah dengan kepentingan apa. Yang jelas, sangat bisa jadi kaum laki-laki memang tidak mau digusur dari sektor yang selama ini digelutinya: sektor publik. Karena pada sektor inilah sebetulnya peran manusia terasa lebih bebas, merdeka, dan nyaman.
 Khusus masalah tafsir, Nasaruddin Umar dalam bukunya Argumen Kesetaraan Jender, Perspektif Al-Qur’an (Mizan: 1999) bias dalam pemahaman teks Kitab Suci ada dalam berbagai tingkatan linguistik. Ada 10 poin bia, yakni; pembakuan tanda huruf, tanda baca, dan qira’at, pengertian kosa kata, penetapan rujukan kata ganti, penetapan batas pengecualian, penetapan arti huruf, bias dalam struktur bahasa, bias dalam kamus Bahasa Arab, bias dalam metode tafsir, pengaruh riwayat Isra’ilyyat, dan bias dalam pembukuan dan pembakuan Kitab-kita Fiqh.
Berbekal dari tafsir yang ada inilah kaum feminis mulai melakukan analisisnya. Dari konstruksi menuju dekonstruksi, dan akhirnya menuju konstruksi lagi (rekonstruksi). Dengan demikian wilayah yang akan diambil dalam analisis feminis adalah sektor pendobrakan terhadap kemapanan struktur pikiran masyarakat patriarkhi. Dan, tentu saja proyek semacam ini tidak bisa langsung sekali jadi. Butuh waktu yang lama untuk sekadar mengintegrasikan kesadaran kesetaraan jender dalam masyarakat.

Perempuan, Pos-modern:

Basis Analisis Kaum Feminis Kontemporer

Hal utama yang harus “diyakini” adalah bahwa tidak ada grand narrative (cerita besar) yang mengangkangi satu aspek kehidupan manusia. Maksudnya, tidak mungkin hanya soal perempuan dikisahkan oleh semua aspek kehidupan, teks Kitab Suci, argumentasi nalar, fenomena sosial, dan lain-lain. Yang ada hanyalah cerita-cerita kecil—yang oleh kaum pos-modern dan pos-strukturalis disebut “teks”. Wacana tentang perempuan adalah jaringan-jaringan wacana yang kemudian menjadi (atau dijadikan) satu oleh realitas yang ada.
Jika saja perempuan diletakkan dalam jaringan teks besar laki-laki, maka menurut penghampiran feminis-posmodern, maka harus dilakukan pembalikan: Keluar dari dari sudut pandang laki-laki. Cerita besar tentang perempuan yang berangkat dari landasan teologis harus ditolak dengan argumen teologis pula. Kalau banyak Teks Kitab Suci yang menyatakan perempuan berwajah A, maka Teks Kitab Suci yang sama sebetulnya juga menyatakan perempuan berwajah B. Semisal, ketidaksetaraan jender yang ada dalam Al-Qur’an, bisa terhapus dengan dasar Al-Qur’an juga bahwa: Perempuan dan laki-laki adalah setara dihadapan Allah.
Dua kata kunci yang dapat digunakan lebih lanjut dalam penghampiran feminisme-posmoder adalah “representasi” dan keterkaitan antara “pengetahuan sebagai kekuasaan”. Kata pertama merupakan temuan dari filsuf asal Perancis yang mengacu pada ide, gambaran, image, narasi, visualisasi, dan produk-produk keilmuan yang berkaitan dengan penafsiran atas perempuan selama ini. Sedangkan, kata kedua digunakan oleh filsuf dekonstruksionis asal Perancis juga Michelle Faucoult. Keduanya memandang bahwa persoalan citra—reprentasi, yang dalam ilmu sosial lebih dikenal dengan istilah teks--lebih banyak berperan dalam mengkonstruk nalar manusia dalam melihat sesuatu. Juga, dalam melihat perempuan.
Kalau semua yang ada berkaitan dengan realitas perempuan adalah representasi, dan setiap representasi adalah teks, maka kalau kita mencurigai representasi yang ada, kita juga harus curiga pada teks-teksnya. Dan karena setiap teks bersifat culturally dan socially constructed (dikonstruksikan) sesuai zamannya, maka kita pun patut mencurigai bahwa teks-teks lama tidak lagi cukup relevan bagi zaman sekarang. Harus ada representasi baru yang lebih kontekstual dari pada representasi lama.

Epilog

Sebagai sebuah wacana, tentu saja, Islam dan feminisme masih membuka peluang ada keluar masuknya pintu nalar lebih jauh. Yang jelas, meski kini sudah kelihatan muncul feminis-feminis Muslim seperti Fatima Mernissi, Nawal el-Sadawi, Wardah Hafidz, dan lain-lain perempuan-perempuan Muslim yang lain masih berada dalam ruang kepengapan masyarakat patriarkhi.
Karena itulah, perjuangan kaum feminis atau minimal kesadaran gender bagi perempuan dan laki-laki masih sangatlah dibutuhkan. Dan untuk itu, Islam memang harus bisa merangkum wacana feminisme dalam dialog yang manis antara teks (Kitab Suci) dan konteks. Tanpa itu semua, tidak mustahil Islam akan kehilangan banyak “konstituen”.
Akhirnya, sedikit gambaran tentang Islam dan diskursus feminisme mungkin bisa mengisi ruang dialektika itu. Meski, harus penulis sadari masih banyak yang “lepas” dari tulisan yang hanya sepenggal ini. Kritik, tanggapan, dan saran, tentu saja, akan sangat bermanfaat dalam mengkomunikasikan nalar untuk lebih berperspektif gender, bernaluri feminis, namun tetap beriman.

 




[1] Penulis adalah anak buruh tani asal Kebumen, saat ini sedang mendapat amanah untuk menjalankan mandat sebagai Ketua I PKC PMII Jawa Tengah 2006-2008.

Saturday, May 19, 2012

ASWAJA SEBAGAI MANHAJ AL-FIKR


Salamin-Dikalangan anak muda NU, terutama yang tergabung dalam wadah organisasi kemahasiswaan PMII, diawal tahun 1990-an mulai ramai membicarakan “Aswaja”.
Pada mulanya perbincangan baru seputar pertanyaan, mengapa aswaja menghambat perkembangan intelektual masyarakat ? diskusi terhadap doktrin ini lalu sampai kesimpulan, bahwa kemandegan berfikir ini karena kita mengadopsi mentah-mentah bahwa aswaja secara “Qod’I” (kemasan praktis pemikiran aswaja). Lalu dicobalah membongkar sisi metodologi berfikirnya (Manhaj Al-fikr): Yakni cara berfikir yang menganggap prinsip Tawasuth (moderat), Tawazun (keseimbangan), dan Ta’adul (keadilan). Setidaknya prinsip ini bisa mengantarkan pada sikap keberagaman yang non tatharruf atau ekstrim kiri dan kanan.

LATAR KULTURAL DAN POLITIK KELAHIRAN ASWAJASelama ini yang kita ketahui tentang ahlusunnah waljama’ah adalah madzhab yang dalam masalah aqidah mengikuti imam Abu Musa Al Asyari dan Abu Mansur Al Maturidi. Dalam praktek peribadatan mengikuti salah satu madzhab empat, dan dalam bertawasuf mengikuti imam Abu Qosim Al Junandi dan imam Abu khamid Al Gozali.
Kalau kita mempelajari Ahlussunnah dengan sebenarnya, batasan seperti itu nampak begitu simple dan sederhana, karena pengertian tersebut menciptakan definisi yang sangat eksklusif Untuk mengkaji secara mendalam, terlebih dahulu harus kita tekankan bahwa Ahlussunnah Waljamaah (Aswaja) sesungguhnya bukanlah madzhab, Aswaja hanyalah sebuah manhaj Al fikr (cara berpikir) tertentu yang digariskan oleh para sahabat dan muridnya, yaitu generasi tabi’in yang memiliki intelektualitas tinggi dan relatif netral dalam mensikapi situasi politik ketika itu. Meski demikian, bukan berarti dalam kedudukannya sebagai Manhaj Al fikr sekalipun merupakan produk yang bersih dari realitas sosio-kultural maupun sosio politik yang melingkupinya.
Ahlusunnah tidak bisa terlepas dari kultur bangsa arab “tempat islam tumbuh dan berkembang untuk pertama kali”. Seperti kita ketahui bersama, bangsa arab adalah bangsa yang terdiri dari beraneka ragam suku dan kabilah yang biasa hidup secara peduli. Dari watak alami dan karakteristik daerahnya yang sebagai besar padang pasir watak orang arab sulit bersatu dan bahkan ada titik kesatuan diantara mereka merupakan sesuatu yang hampir mustahil. Di tengah-tengah kondisi bangsa yang demikian rapuh yang sangat labil persatuan dan kebersamaannya, Rosulullah diutus membawa Islam dengan misi yang sangat menekankan ukhuwah, persamaan dan persaudaraan manusia atas dasar idiologi atau iman. Selama 23 tahun dengan segala kehebatan, kharisma, dan kebesaran yang dimilikinya, Rosulullah mampu meredam kefanatikan qobilah menjadi kefanatikan agama (ghiroh islamiyah). Jelasnya Rosulullah mampu membangun persatuan, persaudaraan, ukhuwah dan kesejajaran martabat dan fitrah manusia. Namun dasar watak alami bangsa arab yang sulit bersatu, setelah Rosulullah meninggal dan bahkan jasad beliau belum dikebumikan benih-benih perpecahan, gendrang perselisihan sudah mulai terdengar, terutama dalam menyikapi siapa figure yang tepat mengganti Rosulullah ( peristiwa bani saqifah ).
Perselisihan internal dikalangan umat Islam ini, secara sistematis dan periodik terus berlanjut pasca meninggalnya Rosulullah, yang akhirnya komoditi perpecahan menjadi sangat beragam. Ada karena masalah politik dikemas rapi seakan-akan masalah agama, dan aja juga masalah-masalah agama dijadikan legitimasi untuk mencapai ambisi politik dan kekuasaan.
Unsur-unsur perpecahan dikalangan internal umat Islam merupakan potensi yang sewaktu-waktu bisa meledak sebagai bom waktu, bukti ini semakin nampak dengan diangkatnya Usman Bin Affan sebagai kholifah pengganti Umar bin Khottob oleh tim formatur yang dibentuk oleh Umar menjelang meninggalnya beliau, yang mau tidak mau menyisahkan kekecewaan politik bagi pendukung Ali waktu itu. Fakta kelabu ini ternyata menjadi tragedy besar dalam sejarah umat Islam yaitu dengan dibunuhnya Kholifah Usman oleh putra Abu Bakar yang bernama Muhammad bin Abu Bakar. Peristiwa ini yang menjadi latar belakang terjadinya perang Jamal antara Siti Aisyah dan Sayidina Ali. Dan berikut keadaan semakin kacau balau dan situasi politik semakin tidak menentu, sehingga dikalangan internal umat Islam mulai terpecah menjadi firqoh-firqoh seperti Qodariyah, Jabbariyah Mu’tazilah dan kemudian lahirlah Ahlus sunah. Melihat rentetan latar belakang sejarah yang mengiringi lahirnya Aswaja, dapat ditarik garis kesimpulan bahwa lahirnya Aswaja tidak bisa terlepas dari latar belakang politik.

ASWAJA SEBAGAI MANHAJ AL-FIKRMelihat dari latar cultural dan politik sejarah kelahiran Aswaja, beserta ruang lingkup yang ada di dalamnya. Terminologi Aswaja yang sebagai mana kita pegangi selama ini, sehingga tidak jarang memunculkan paradigma jumud (mandeg), kaku, dan eksklusif atau bahkan menganggap sebagai sebuah madzhab dan idiologi yangQod’i. Bagaimana mungkin dalam satu madzhab kok mengandung beberapa madzhab, dan bagaimana mungkin dalam satu idiologi ada doktrin yang kontradiktif antara doktrin imam satu dengan imam yang lain.
Salah satu karakter Aswaja adalah selalu bisa beradaptasi dengan situasi dan kondisi, oleh karena itu Aswaja tidaklah jumud, tidak kaku, tidak eksklusif, dan juga tidak elitis, apa lagi ekstrim. Sebaliknya Aswaja bisa berkembang dan sekaligus dimungkinkan bisa mendobrak kemapanan yang sudah kondusif. Tentunya perubahan tersebut harus tetap mengacu pada paradigma dan prinsip al-sholih wa al-ahslah. Karena itu menurut saya implementasi dari qaidah al-muhafadhoh ala qodim al-sholih wa al-akhdzu bi al jadid alashlah. Adalah menyamakan langkah sesuai dengan kondisi yang berkembang pada masa kini dan masa yang akan datang. Yakni pemekaran relevansi implementatif pemikiran dan gerakan kongkrit ke dalam semua sector dan bidang kehidupan baik, aqidah, syariah, akhlaq, social budaya, ekonomi, politik, pendidikan dan lain sebagainya.
Walhasil, Aswaja itu sebenarnya bukanlah madzhab. Tetapi hanyalah manhaj al-fikr atau paham saja, yang di dalamnya masih memuat beberapa aliran dan madzhab. Ini berarti masih terbuka luas bagi kita wacana pemikiran Islam yang transformatif, kreatif, dan inovatif, sehingga dapat mengakomodir nuansa perkembangan kemajuan budaya manusia. Atau selalu up to date dan tanggap terhadap tantangan jaman. Nah dengan demikian akan terjadi kebekuan dan kefakuman besar-besaran diantara kita kalau doktrin-doktrin eksklusif yang ada dalam Aswaja seperti yang selama ini kita dengar dan kita pahami dicerna mentah-mentah sesuai dengan kemasan praktis pemikiran aswaja, tanpa mau membongkar sisi metodologi berfikirnya, yakni kerangka berpikir yang menganggap prinsip tawassuth (moderat),tawazun (keseimbangan), ta’adul ( keadilan) dapat mengantarkan pada sikap yang mau dan mampu menghargai keberagaman yang non ekstrimitas (tatharruf) kiri ataupun kanan.
NILAI-NILAI ASWAJA YANG TOLERAN DAN ANTI EKSTREM?Dalam sejarah tokoh pemikir Islam, kehadiran Abu Hasan al-Asya’ari dan Abu Manshur al-Maturidi, melalui pemikiran-pemikiran teologis kedua orang ini berhasil mempengaruhi pikiran banyak orang dan mengubah kecenderungan dari berpikir rasionalis ala Mu’tazilah kepada berpikir tradisionalis dengan berpegang pada sunnah Nabi. Asawaja dengan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya seperti tawassuth, tawazun tasamuh mampu tampil sebagai sebuah ajaran yang berkarakter lentur, moderat, dan fleksibel. Dari sikap yang lentur dan fleksibel tersebut barang kali yang bisa mengantarkan paham ini diterima oleh mayoritas umat Islam di Indonesia.